Misteri Gunung Mananggel - Ayo Ke Cianjur, PAHATAN tapak kaki kiri tergambar pada batu hitam
berukuran sekitar 30x14 cm. Kehadiran batu bergambar tersebut hampir tak
kentara, tertutupi semak belukar dan rerumputan, serta pohon tumbang
dan ranting-ranting berserakan.
"Orang-orang sini mengenalnya sebagai Sanghyang Tapak,” kata Hendrawan (37), penduduk Cianjur.
Sanghyang Tapak terletak tepat di puncak Gunung
Mananggel, bukit berketinggian sekitar 800 meter dpl (dari permukaan
laut). Kendati populer, tetapi penduduk kota tauco itu jarang mengetahui
asal-usul Sanghyang Tapak. Yana (59), menyatakan bahwa kaki kiri itu
dahulu kala konon milik seorang sakti yang menguji ilmu kanuragannya.
“Ia meloncat-loncat dari satu gunung ke gunung lainnya, bahkan konon
tapak kaki kanannya ada di Gunung Geulis,” ujarnya seraya menunjuk bukit
besar lain, tetangganya Gunung Mananggel.
Penjelasan masuk akal baru didapatkan dari K.H.
Djalaluddin Isaputra (49), tokoh masyarakat setempat. Menurut lelaki
yang akrab dipanggil Ustadz Jalal tersebut, Sanghyang Tapak merupakan
tapak kaki Resi Pananggel alias Pangeran Laganastasoma, salah satu
keturunan raja-raja Jampang Manggung, kerajaan yang didirikan Prabu
Kujang Pilawa pada tahun 330 saka (sekitar tahun 406-407 M). Jadi,
keberadaannya jauh mendahului Kabupaten Cianjur yang baru didirikan pada
1677.
Tetapi, dalam catatan sejarah resmi tentang kota Cianjur, nama Jampang Manggung tak pernah disebut. Bahkan, dalam Sajarah Cianjur Sareng Raden Jayasasana Dalem Cukundul
karya Bayu Surianingrat dituliskan bahwa saat Dalem Cikundul baru
datang ke Cianjur, situasi kawasan itu sama sekali belum diatur oleh
suatu pemerintahan resmi dan masih berupa hutan rimba yang hanya dihuni
sekelompok jawara. Lantas dari mana datangnya nama Jampang Manggung
tersebut?
Dalam Lalakon ti Cianjur, sejarawan Cianjur, Luki Muharam menyebut informasi-informasi tersebut didapatnya dari Wawacan Jampang Manggung, sebuah kitab tua yang sudah ada padanya secara turun-temurun. “Dalam Wawacan Jampang
disebutkan bahwa saat Raden Jayasana datang ke kawasan yang sekarang
disebut Cianjur, sejatinya telah terdapat suatu pemerintahan yang sudah
berdiri sejak ratusan tahun, namanya Kerajaan Jampang Manggung,” tulis
Luki.
Bahkan disebutkan juga, saat Raden Jayasana alias Dalem
Cikundul datang, Kerajaan Jampang Manggung tengah dipimpin Prabu
Laksajaya. Karena sang raja lumpuh dan tidak memiliki putera,
pemerintahan dijalankan oleh wakilnya, Patih Hibar Palimping. “Saat
Raden Jayasana datang, rakyat Jampang Manggung sudah menganut agama
Islam dan memiliki mata pencaharian sebagai petani huma,” kata Ustadz
Jalal.
Patih Hibar menikahkan puterinya, Dewi Amitri dengan
Raden Jayasana karena tertarik dengan kedalaman ilmu agama Islam dan
keahliannya mengembangkan ilmu pertanian baru bernama “huma banjir”
(penanaman padi khas Mataram yang menggunakan air). “Karena Hibar
Palimping tidak memiliki seorang putera maka saat dia memutuskan menjadi
seorang ulama, pemerintahan lantas diserahkan kepada menantunya
tersebut,” ungkap sesepuh Pesantren Bina Akhlak Cianjur itu.
Begitu menerima limpahan kekuasaan dari Patih Hibar,
Raden Jayasana (kemudian menyebut dirinya sebagai Aria Wiratanu)
memindahkan pusat pemerintahan dari kaki Gunung Mananggel ke kawasan
yang hari ini disebut sebagai Cibalagung. Dia lantas meresmikan nama
baru dari daerah yang dia pimpin itu menjadi Kadaleman Cikundul, cikal
bakal Kabupaten Cianjur.
Hingga kini belum ditemukan sumber lain, seperti
penelitian para sejarawan Belanda, mengenai Kerajaan Jampang Manggung.
Selain Sanghyang Tapak yang mengindikasikan keberadaan kerajaan
tersebut, juga terdapat makam tua di kaki Gunung Mananggel dan
sekitarnya. Selebihnya, Kerajaan Jampang Manggung masih menjadi misteri
sejarah yang harus dieksplorasi oleh para sejarawan dan arkeolog.
Mau lihat langsung Sngahyang Tapak ? Ayo Ke Cianjur.... biar nanti ane yang anter.. hehe
0 komentar