Kujang Pilawa didalam Kerajaan Jampang Manggung - Ayo Ke Cianjur, Kerajaan Jampang Manggung didirikan oleh Kujang Pilawa pada abad ke IV M. ya’ni : bulan kawolu tahun 330 Saka ( lebih kurang tahun 406 s/d 407 M ).
Sebelumnya
Kerajaan Jampang Manggung disebut Jampang Datar dan di pimpin oleh
seorang Raja bernama Sugiwanca atau dengan sebutan lain Aki Wengku dari
Malabar.
Salah seorang Putri Sugiwanca ada yang menjadi istri Kujang Pilawa, jadi Kujang Pilawa adalah mantu dari Sugiwanca.
Pada
masa usia menjelang tua, Sugiwanca menunjuk mantunya yaitu Kujang
Pilawa untuk menggantikan tahta Kerajaan di Jampang Datar, sedangkan
untuk menggantikan kedudukan di Malabar Sugiwanca menunjuk keponakannya
bernama Gasman atau dengan sebutan lain Sabatan Kati.
Setelah
dua Kerajaan ini resmi terpisah dan masing-masing mempunyai seorang
Raja, maka Kujang Pilawa mengganti nama Jampang Datar menjadi Jampang
Manggung dan menjalin persahabatan dengan Kerajaan lainnya, terutama
dengan Malabar, Sundapura, Purwakarta dan Kalapa, selain itu ada ikatan
wilayah dengan seorang Maha Raja dari Kerajaan Tarumanagara.
Kujang
Pilawa sendiri berasal dari negri Para Sunda, setelah menjadi Raja
Jampang Manggung beliau melanjutkan program yang telah dirintis oleh
mertuanya Sugiwanca ( Aki Wengku ) terutama yang belum selesai di
laksanakan, lalu beliau melengkapi dari setiap kekurangan yang ada.
Untuk program yang masih dianggap kurang tepat dan banyak diartikan
keliru oleh sebahagian besar warga masyarakat jampang Manggung, beliau
mengantikannya dengan sesuatu yang lebih mudah di pahami oleh masyarakat
dan gampang pula di sosialisasikan oleh halayak.
Kujang
Pilawa adalah seorang Raja yang sangat peduli akan nasib rakyatnya,
baik yang menyangkut ekonomi dan kesejahteraan, kesehatan dan keamanan
maupun yang terkait dengan moral Bangsa sebagai salah satu pilar
keberhasilan, kekokohan dan kemajuan dari suatu Negri.
I.
Untuk membangun moral Bangsa, Kujang Pilawa sangat memperhatikan para
Ing Paya ( sebuah istilah untuk para Guru Agama / Tabib / Ahli
Pengobatan ) yang berada di Pasanggrahan-pasanggrahan untuk tetap setia
memberikan atikan dan didikan terhadap anak muridnya dan melayani
masyarakat yang membutuhkan, demi kelancaran program tersebut Kujang
Pilawa memberikan sebahagian penghasilan dari lahan Kerajaan yang
dikhususkan untuk kebutuhan tersebut.
II.
Didalam meningkatkan tarap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, Kujang
Pilawa membuka pasar-pasar tradisional menurut kebutuhan masyarakat,
sedangkan untuk pasar induk berada di tengah-tengah keramaian yang
letaknya tidak jauh dari Keraton Jampang Manggung. Apabila hasil dari
pertanian melimpah ruah seperti Gula, Kopi, Hajeli, Gandum, Pete,
Jengkol, Canar, Jahe, Talas, Kupa, Durian, Lobi-lobi dan buah-buahan
lainnya, maka warga masyarakat akan membawanya ke Negri Kalapa atau
Dayeuh Taruma untuk ditukar dengan barang-barang yang di butuhkan oleh
masyarakat Jampang Manggung baik berupa perkakas maupun barang lain yang
sebahagian didatangkan dari Negri Gangga, Campa dan Cina, sedangkan
yang lainnya dapat langsung ditukar dengan Mas dan Perak.
Bagi
para pedagang yang suka berpetualang biasanya menunggu kapal-kapal
pesiar di pinggir Sungai Citarum yang mencari rempah-rempah dari hasil
pertanian khususnya yang dihasilkan dari Jampang Manggung. Ada pula yang
membawa barang dagangannya sampai ke Indrabumi sebelah timur di dekat
Gunung Cereme ( Ciremai ) sebab disana sudah menunggu para pembeli dan
para penjual dagangan-dagangan lainnya yang berasal dari Benggala dan
Sukaya.
III.
Didalam mengatasi kesehatan masyarakat, Kujang Pilawa mempercayakan
kepada para Ing Paya untuk tetap menjaga, memelihara dan melestarikan
Ilmu ketabiban tradisional yang telah di wariskan para leluhur
Bangsanya, dan terbukti mampu mengatasi berbagai macam penyakit yang
diderita dengan media Air bersih atau Sungai yang mengalir serta
tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat. Hal ini menyebabkan Kerajaan Jampang
Manggung semakin populer didalam hal tersebut, sehingga suaranya
terdengar sampai ke Marcapada termasuk Negri Cina dan Gangga, dan dari
kedua Negri inilah banyak sekali utusan Negri atau datang atas keinginan
sendiri untuk meneliti dan belajar Ilmu pengobatan tersebut.
IV.
Dalam mengatur keamanan dan ketertiban masyarakat, Kujang Pilawa
menunjuk Patih yang dapat dipercaya menjadi Turus Juru Turus Juar (
menjaga keamanan dari dalam dan luar ). Bagi Turus Juru, punya tugas
untuk mendekati masyarakat, kemudian memberikan penyuluhan dan bimbingan
agar hidup masyarakat aman damai dan sentosa, tidak bertindak kriminal
dan hormat kepada hukum. Masalah ini sudah barang tentu menjadi
perhatian dari warga terhadap Turus Juru sendiri, oleh karena itu Turus
Juru harus memberikan contoh yang baik, oleh karenanya didalam
pengangkatannya pun Kujang Pilawa sangat teliti dan cermat.
Adapun
tugas Turus Juar adalah mengawasi wilayah Jampang Manggung agar tetap
terjaga dan utuh tanpa ada penyerobotan dari pihak luar, begitu pula
terhadap bangsa-bangsa pendatang dari Negri lain, Turus Juar akan selalu
mewaspadai. Berkaitan dengan itu semua, ternyata Kujang Pilawa telah
teruji dan terbukti memiliki kemampuan yang luar biasa, salah satu
contohnya : Pada saat pasukan dari Negri Daha hendak memasuki wilayah
Jampang Manggung dengan membawa pasukan terlatih yang berjumlah 800
orang, maka dengan cepat dan sigap Kujang Pilawa memanggil para pejabat
dan Turus Juar untuk mengadakan rapat kilat, seterusnya memberikan
intruksi untuk mempertahankan Kerajaan Jampang Manggung sampai titik
darah penghabisan, dengan demikian perang tanding pun tak dapat di
elakkan, saling menyerang saling memanah saling melempar, menombak dan
bunuh-membunuh, yang akhirnya pasukan dari Kerajaan Jampang Manggung
dapat mengalahkan pasukan Daha selama perang Tiga hari Tiga malam.
Banyak korban disana-sini termasuk korban sipil yang tidak berdosa,
lebih dari Empat ratus korban meninggal dunia dari pasukan Daha,
sedangkan sebahagian lagi menjadi tawanan perang dan sisanya melarikan
diri kearah yang tidak sama, setiap kali pasukan Daha mencoba masuk
menerobos, tidak pernah mereka berhasil menguasai dan menjajah Kerajaan
Jampang Manggung.
Contoh
lainnya : ketika Bangsa Banggala datang ke Jampang Manggung dengan
jumlah yang sangat banyak untuk merompak dan bertindak sewenang-wenang
terhadap warga, seketika itu pula warga Jampang Manggung mengadakan
perlawanan mati-matian, kemudian di Bantu oleh pasukan Kerajaan yang di
pimpin oleh Turus Juru dan berhasil menumpas para pengacau dalam waktu
sehari.
Kujang Pilawa sangat memperhatikan Pitutur Ajen
Selain
itu di dalam menjalankan program Negara dan kebijakannya, Kujang Pilawa
selalu memperhatikan aturan yang berlaku pada saat itu, yaitu : Ajen
Galuh, Ajen Pananggelan dan Ajen Galunggung.
Ajen-ajen
tersebut adalah warisan yang sangat berharga dari Leluhurnya, dan yang
sangat berperan untuk mengajarkan Ajen-ajen ini di namakan Ing Paya,
apabila Ing Paya tersebut memiliki ilmu pengetahuan yang lebih luas
serta mempunyai kelebihan-kelebihan lain tentang penyakit dan bathin,
maka Ing Paya itu disebut Ing Payagung.
Adapun yang disebut Ajen tersebut ialah sebagai berikut :
- Ajen Galuh artinya : Galuh Galeuh Galih, sesuatu ajaran yang menjelaskan tentang adanya Sang Hyang Batara Tunggal ( Tuhan Yang Maha Esa ), Ia memberikan ruh kehidupan terhadap seluruh Makhluknya dan ruh kejujuran terhadap jiwa seseorang, oleh karena itu setiap Manusia harus jujur terhadap dirinya sendiri apalagi terhadap yang lain, lalu mengetahui bahwa kehidupan dirinya karena ada yang menghidupkan, ya’ni suatu Dzat yang maha hidup. Ajen Galuh ini juga mengajarkan ketulusan, kelurusan, kebenaran dan harus dapat melihat masa kini dan saat mendatang, sehingga manusia harus memahami tentang sebab akibat serta hukum Alam yang sangat jujur dan kudrat.
- Ajen Pananggelan ialah : Sebuah Atikan yang mengajarkan bahwa : hadirnya manusia di Alam pawenangan ini sebagai makhluk sosial yang hidup dan kehidupannya membutuhkan bahkan bergantung dengan makhluk lainnya, oleh karenanya atikan tatakrama menjadi penting adanya, seperti menghormati Ibu bapa, Kakek Nenek dan seterusnya, menghormati Guru Pinisepuh dengan mematuhi segala nasihat yang baiknya, merendahkan sayap dengan tidak menyombongkan diri, mentaati pemimpin selama berada pada jalur yang benar dan perintahnya juga benar, mengetahui mana hak dan kewajiban, dilarang mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Ajen
Pananggelan pun mengajarkan tentang Darma, yaitu manusia harus usaha
dan ikhtiar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan bukti
dari adanya kejujuran jiwa, kebiasaan ini merupakan ajaran yang telah di wariskan Adam dan Hawa serta Tsis.
Bagi
para pemelihara hewan Kerbau, Sapi, Kambing dan Domba yang mau
mengembalakan hendaklah menggembala ketika Matahari melewati kepala (
setelah Dhuhur ) namun di kandang harus di siapkan rumput untuk makanan
malam dan pagi, memberi makan malam sebaiknya di lakukan setelah malam
gelap ( dari mulai jam 21.00 s/d jam 24.00 ) sedangkan memberi makan
pagi pada saat matahari naik satu tombak ( kurang lebih jam 7.00 s/d jam
8.00 ) hal ini di lakukan bila hewan ternak tidak sedang dikerjakan di
ladang, apabila hewan ternak itu di kerjakan, berikanlah makan ketika
waktu Sasah ( sebelum shubuh ), dan hewan tidak boleh di kerjakan
melampaui batas hari, yaitu sampai matahari tepat diatas kepala ( Dhuhur
).
Mandikanlah
kerbau dua kali sehari atau tiga kali, kunci kehidupan kerbau adalah
perutnya selalu kenyang dan cukup mandinya ditambah kandang harus
bersih, selalu ada api unggun sepanjang malam, kepalanya sering di elus
begitu juga tanduknya, jika binatang itu kurang jinak ludahi hidung dan
kepalanya. Bagi yang tidak mau menyediakan rumput di kandang harus
menggembalakan ternak dari pagi sampai sore dan mandikan dua sampai tiga
kali sehari, sedangkan bagi yang tidak mau menggembalakannya harus
menyediakan rumput satu Sundung untuk satu kerbau dan mandikan dua kali
sehari pagi dan sore.
Untuk
Domba cukup dimandikan satu minggu sekali dan berikan makanan yang
cukup serta daun Dadap satu kepal untuk satu Domba dua minggu sekali
untuk menjaga kesehatan tubuhnya, untuk Kambing tidak usah di mandikan
kecuali bila perlu karena kotoran dan lain sebagainya, namun berikan
daun Haur yang muda dua minggu sekali untuk menjaga kesehatan, daun
Dadap dan daun Haur berlaku pula bagi kerbau, Sapi dan Kuda. Ini adalah
yang sempat di tulis oleh para Ing Paya.
Bagi
orang yang hatinya cenderung untuk berdagang, maka harus menjadikan
para pembeli menjadi tuannya, Ia harus berlaku jujur sekalipun tidak
harus membuka rahasia modal sendiri, namun tidak boleh dusta dan menipu
serta harus ada kelayakan harga agar saling menguntungkan, tidak boleh
mengambil kesempatan untuk merugikan orang yang bodoh dan tidak tahu,
bila ini dilakukan tentu akan sejahtera.
Perhatikan
dengan cermat barang yang akan di jual di pasar, di lapakan atau di
Dayeuh Taruma, bila beruntung dari hasil jualannya, jangan lupa harus
Darma bagi kebaikan hidup dan kehidupan. Inilah yang sempat di tulis
oleh para Ing Paya.
Apabila
mau bertani perhatikan Bintang Raja Desa ( Bintang Tujuh dan Tiga ).
Sekali-kali tidak boleh menggarap hutan Kabuyutan ( Hutan Larangan /
Titipan ) karena akan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan bangsa dan
keluarga di masa mendatang.
Peliharalah
Hutan Raja ( Tutupan ) ambil manfaat dari Hutan tersebut Madu Odeng,
Nyiruan ( Lebah ) dan Teuweul untuk di minum dan di jual belikan, tanami
Daun Sirih dan Laja Goah, Rotan dan Bungbuay, buah-buahan yang dapat
dimakan atau untuk obat, Honje, Suruh dan Kondang yang semuanya dapat
diambil manpaatnya, tetapi tidak boleh menebang pohon sembarangan,
tanyakanlah kepada Patih Sahung ( Juru kunci yang mengetahui seluk beluk
Gunung dan Hutan serta mengetahui sebab dan dampak yang diakibatkan
oleh kesalahan tangan manusia ).
Pada lahan Hanyaran ( Bukaan / Baladahan atau Garapan )
para petani harus benar-benar menggarap tersebut sebaik mungkin agar
hasilnya cukup menggembirakan, namun harus di ingat di pinggiran dan
ditengah-tengah kebun sebaiknya di tanami pohon Nangsi dan Lobilobi,
atau Menteng dan Bencoy, Gandaria dan Cereme. Ini adalah sebagian yang
sempat di tulis para Ing Paya.
Bagi
orang yang suka menolong baik dengan tenaga atau pikiran, jasa atau
ilmu pengetahuan, lakukanlah dengan setulus hati, ringankanlah
masalahnya jangan terlalu memberatkan untuk upah dan pemberian, tentu
saja Tuhan akan membalas setiap kebaikan yang di lakukan. Begitu juga
bagi yang mengabdikan diri untuk Bangsa dan kemanusiaan, waktu yang
tersita, pikiran dan ilmu pengetahuan yang selalu dipungsikan. Inilah
sebahagian yang sempat ditulis oleh para Ing Paya.
Apabila
menjadi Tuan/majikan, maka sayangilah para pekerja dan berikan haq
mereka seutuhnya, tetapi jika pekerja melakukan kesalahan tegurlah dan
berikan nasihat padanya, jika kesalahanya telah melampaui batas berikan
sanksi yang seimbang atau ganti dengan pekerja yang lain, laporkan
kepada Patih untuk dimasukan ke ruang pendidikan orang nakal. Apabila
menjadi karyawan atau kuli harus melaksanakan tugas dari Tuan/Majikan
dengan penuh tanggungjawab, dan tidak lalai sehingga membuat hati
majikan merasa senang dan tidak marah, jangan sekali-kali mencuri waktu
atau mengambil barang milik Tuan dan Majikan kecuali atas seizin dan
keridloannya. Inilah yang sempat ditulis oleh para Ing Paya.
Jika
menjadi petugas keamanan, terlebih dahulu harus mengamankan diri dari
tindakan tercela, kemudian melangkah dengan penuh keberanian dalam
menjalankan tugas, dan harus cermat sebaik mungkin, dilarang bertindak
yang berlebihan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang, kecuali untuk
menjaga diri dan sesuatu yang dibenarkan, bertanyalah kepada Raja dan
Ing Paya agar tidak menyesal di kemudian hari, berjalan dengan layak,
hormati Raja dan Ing Paya, hormati orang tua, Pini sepuh, sayangi kaum
wanita dan seluruh anak bangsa. Inilah yang sempat ditulis para Ing
Paya.
Hidup
harus rukun dan harmonis, waspadalah apabila datang serigala dari arah
barat dengan menutupi semua gigi dan taringnya, tetapi ingat tidak
setiap yang datang dari arah barat itu serigala, adapula
burung waliwis (belibis), merpati serta kerak dan ciung. Hati-hati
terhadap harimau yang datang dari arah timur, namun tidak setiap yang
datang dari timur itu harimau, adapula anjing penjaga, Angsa yang
bersuara lantang memberi tahu penghuni rumah agar tidak kecolongan,
perhatikan yang datang dari arah selatan dan utara, jika mereka obat
tentu akan memberi kesehatan, sedangkan jika racun pasti akan menebar
penyakit. Tanamlah pohon Dadap, Angsret, dan Kilalayu di pinggir kali
dan jalan. Inilah yang sempat dicatat oleh para Ing Paya.
Para
Ing Paya harus mewakili Adam dan Syits, sedangkan Adam dan Syits
melaksanakan tugas dari Sang Hyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa).
Salah satu tugasnya harus menyinari setiap kegelapan dan memberi Ilmu
kehidupan. Hidup dan kehidupan ibarat Matahari dan sinarnya, jika
Matahari ada, namun tidak bercahaya apa pula namanya, seandainya cahaya
ada, tetapi tidak tahu dari mana datangnya, bagaimana pula bertanyanya.
Inilah yang sempat ditulis oleh para Ing
Paya.
- Ajen Galunggung : Ajen ini mengajarkan hubungan manusia dengan Alam semesta, pertama hubungan manusia dengan Binatang.
Binatang
dibagi kepada beberapa bagian, ada binatang yang membahayakan, ada pula
yang tidak, ada yang boleh dimakan dagingnya, ada juga tidak boleh,
beberapa binatang boleh di buru, namun sebahagian tidak boleh di buru,
begitu pula untuk dipelihara, ada yang diperbolehkan ada yang tidak.
Binatang
yang dianggap berbahaya seperti Harimau, Macan tutul dan Macan Dahan
atau yang sejenis dengan binatang tersebut. Binatang ini tidak boleh
diburu kecuali jika memasuki Kampung halaman atau lapangan tempat
bermain anak-anak, mengganggu manusia dan Hewan ternak, sebenarnya
tempat mereka di Hutan belantara, biarkan mereka hidup damai di
tempatnya, jika masuk ke dalam Hutan yang di tempati binatang-binatang
itu, kabarilah mereka dengan cara membunyikan kentongan Bambu pasti
mereka akan menjauh dan tidak akan mengganggu, janganlah sekali-kali
mereka di buru dan di sakiti, dagingnya tidak boleh di makan kecuali
bila terpaksa dan hanya untuk obat-obatan itu pun harus seijin Patih
Sahung.
Adapun
Babi Hutan boleh di buru jika berkeliaran ke lahan-lahan pertanian,
masuk Kampung halaman, namun tidak boleh sengaja memasuki Hutan
Kabuyutan ( Larangan ) untuk mengejar-ngejar dan memburunya. Apabila
Babi Hutan itu mati, maka dagingnya bukan untuk manusia, melainkan untuk
Anjing dan Serigala dan pada taringnya terdapat Roh jahat.
Kambing
Hutan yang datang ke Kampung halaman atau ke lahan pertanian boleh di
buru sampai ke Hutan Raja ( Tutupan ) dagingnya boleh di makan oleh
Manusia tanduknya menjadi hiasan dan kulitnya menjadi tempat duduk dan
bersandar, jangan sekali-kali mengejar dan memburu Kambing Hutan atau
apapun di Hutan Kabuyutan ( Larangan ).
Ayam
Hutan dan Burung boleh di Sumpit jika di perlukan, tetapi berhati-hati
untuk melihat mana jantan dan mana betina, karena tidak boleh membunuh
betina yang sedang bertelur, Ayam Hutan dan Burung dagingnya boleh di
makan dan bulunya menjadi kebanggaan, namun hanya satu bulan sekali di
perkenankan memburu untuk satu ekor.
Apabila burung-burung belum berkembang biak, sekali-kali tidak boleh mengambilnya karena akan membawa penderitaan dalam hidup.
Burung
Kerak, Kutilang, Ciung dan Beo boleh di pelihara jika tahu cara
pemeliharaannya, apabila belum mengetahui ilmu dan tata caranya
janganlah mencoba memlihara karena akan bersedih hati.
Trenggiling
boleh di ambil dan di sembelih untuk obat semata, tetapi bukan untuk di
jual belikan. Jika ini di langgar berarti telah berkhianat kepada Ajen
Galunggung. Inilah yang sempat di catat Para Ing Paya.
Pohon-pohon
Adam yang telah ada sejak lama harus di jaga dan di lestarikan
keberadaannya, tidak boleh punah anak-anaknya dan tidak boleh hilang
karena kejahilan tangan, sebahagian pohon tersebut di namakan Derwak,
Bintinu, Mara, Loa, Nangsi, Bungur, Caringin ( Beringin), Juar, Binong,
Gayam, Baros, Laban, Cangcaratan, Ki Bangkong, Kondang, Angsret, Sempur,
Harendong, Ki Angsana dan Kajujaran.
Bagi
pohon-pohon pendatang tidak di ijinkan hadir di Hutan Kabuyutan (
Larangan ), mereka hanya di perbolehkan berada pada Hutan Raja ( Tutupan
) dengan tidak menguasai dan mendominasi pohon-pohon asli setempat.
Untuk
pinggiran Sungai sebaiknya di tanami Dadap Cangkring, Angsret, Mara
Gonggong, Menteng dan Bencoy, Kondang dan Beunying, Buteng dan Ki Teja.
Sedangkan di pinggir jalan sebaiknya di tanami oleh Pohon Bungur dan
Gayam, Asem dan Juar, Ki Angsana dan Kajujaran dilengkapi Pohon Jambe (
pohon Pinang ) dan Maja Kane.
Di
setiap Lamping ( Lembah Mala ) yang kosong tanpa pepohonan harus di
tanami pohon Derwak dan Pe’er, Sempur dan pohon buah-buahan terutama
yang rasanya asam, inilah yang sempat di tulis oleh para Ing Paya.
Ajen-ajen
tersebut telah terbukti mampu memberi pencerahan terhadap pemikiran
masyarakat, baik Spiritual, Moral dan sosial khususnya bagi masyarakat
Jampang Manggung sehingga gemah ripah repeh rapih, damai sejahtera dan
sentosa dapat di rasakan secara bersama.
Si
Raja Hutan hidup tenang di rimbun Belantara tanpa mengganggu dan tidak
pula di ganggu, Burung-burung bersiul melagukan harapan dan senyuman
masa depan dengan menikmati rindangnya pepohonan dan pemandangan.
Monyet, Surili, Lutung, Oa, Beruk, hampir setiap pagi saling memanggil
antara satu dengan yang lainnya, loncat-loncatan dari dahan ke dahan
lain, dari pohon satu ke pohon kedua dari pohon dua ke pohon ketiga
menggambarkan tentang lapangan kehidupan mereka yang menyenangkan.
Para
petani menggarap lahan pada tempatnya tanpa melakukan aniaya dan binasa
terhadap Hutan, sehingga anak istri dan keluarga, bahkan keturunannya
dapat menikmati kesejahteraan dengan tidak mengidap penyakit rakus dan
serakah, hidup mereka dengan tenang, sejuta harapan berada pada cinta
Alam dan ridlo Tuhan, Adam da Hawa serta Syits tersenyum dari
kalanggengan.
Pedagang
dan pembeli saling memberi keuntungan, tanpa tipu-menipu dan memalsu,
apabila rugi sehari atau setahun tidak usah sakit hati karena esok akan
kembali untuk mengganti yang rugi karena Alam pun akan memberi, sehingga
keluarga tenteram dan damai dalam pikiran, maju untuk sejahtera,
sejahtera untuk kemajuan, Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam
kalanggengan.
Para
Ing Paya berbakti dengan suka hati, ilmu dan pikirannya di sumbangkan
untuk menerangi jalan kehidupan, dengan lurus dan tulus tanpa hitung
untung dan rugi materi, karena hatinya yakin Tuhan lah Maha Pemberi,
Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Para
pekerja penuh riang gembira walau kadang menderita tapi hanya
sementara, karena jaga akan sejahtera terasa oleh keluarga. Para Tuan
dan Majikan memiliki sipat kebapaan, gembira jika memberi, membayar hak
para pekerja tanpa ragu tanpa bimbang sehingga berpengaruh untuk
keluarga, merasa nyaman dan sayang bersama suami yang budiman dan baik
hati. Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Sang
Raja memimpin Negri dengan rasa tanggung jawab sepenuh hati,
perhatiannya di pusatkan dan di tujukan bagi kepentingan Bangsa dan
Negara, tindakannya sangat bijaksana, keberaniannya di puncak tertinggi,
Ajen yang menjadi tali pengikat kehidupan dan tindakannya, sehingga
seluruh warga masyarakat tersadarkan untuk mengikuti apa yang di ucapkan
oleh Panutan Sang raja Kujang Pilawa, hidupnya pun sering bersemedi
untuk memohon pertolongan dari Sang Hyang Widi, agar keadilan, kasih dan
sayang, tegas, lugas dan memaafkan menjadi napas kehidupan sehari-hari.
Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Kujang
Pilawa menjadi raja selama Empat Puluh Tahun, telah banyak memberi
kontribusi terhadap Bangsa dan Negara Kerajaan Jampang Manggung,
kemudian beliau mengundurkan diri setelah merasakan bahwa usianya telah
senja, lalu sebelum meninggal Ia pun sempat menjadi Ing Payagung.
Untuk
menggantikan Tahta Kerajaan Jampang Manggung Kujang Pilawa menunjuk
Putra Laki-lakinya yang paling besar bernama Danu Sangkalang.
Kujang
Pilawa di karuniai sebelas orang Anak, Dua diantaranya Laki-laki yaitu
Danu Sangkalang dan Sanjar Janggala yang kemudian menjadi Patih
kepercayaan Danu Sangkalang.
Selama
masa menjabat menjadi Raja, Kujang Pilawa selalu menyelipkan senjata
tosa di pinggang sebelah kiri, kemana pun Ia pergi, sehingga senjata
Tosa tersebut berganti sebutan dengan sendirinya yaitu senjata Kujang
karena terbawa oleh pemakainya ya’ni Kujang Pilawa. Berawal dari situlah
senjata yang tadinya di sebut Tosa berubah nama menjadi Kujang, hal ini
berlaku pula pada jaman Pajajaran dan menjadi ciri khas senjata Sunda (
senjata Kujang ) sampai sekarang.
Danu Sangkalang, Putra Harapan
Setelah
Danu Sangkalang dilantik menjadi Raja, maka ia mengangkat adik
kandungnya Sanjar Janggala menjadi Patih kepercayaan dalam menjalankan
roda Pemerintahan Kerajaan Jampang Manggung.
Di
dalam mengambil setiap kebijakan dan melaksanakan program Pemerintahan,
Danu Sangkalang mengikuti jejak ayahnya, ia sangat menjaga dan
memelihara setiap keberhasilan yang telah diraih pendahulunya itu,
kemudian ia diamanati oleh ayahnya untuk meluruskan kebijakan yang
dianggap kurang tepat, melengkapi kekurangan yang ada serta mengadakan
perbaikan. Dengan demikian Danu Sangkalang mengemban tugas yang tidak
ringan untuk dipikul sendirian, sehingga perlu adanya penasihat yang
mapan dan mampu menjawab persoalan yang dihadapi, akhirnya ia mengangkat
Ing Payagung yang bernama Aki Seuseupan sebagai Penasihat pribadinya.
Pada
masa Danu Sangkalang, gerakan moralitas bangsa terasa sangat menonjol,
apalagi ketika Danu Sangkalang melihat kenyataan yang ada di masyarakat,
masih ada prilaku negatif yang mempengaruhi cara hidup manusia.
Mengingat akan segala nasihat ayahnya untuk terus maju dan mengadakan
perbaikan, akhirnya ia berhasil menghapus beberapa jenis kebiasaan buruk
yang masih berlaku pada saat itu. Antara lain : kebiasaan buruk pertama
yang disebut Ngayang, Apabila ada seorang ibu yang melahirkan bayi
kembaran yang berjenis kelamin berlainan (laki-laki dan perempuan), maka
bayi yang berjenis kelamin laki-laki harus dipisahkan setelah satu
minggu disusui ibu kandungnya, bayi laki-laki itu boleh dititipkan
kepada siapapun tapi tidak boleh diasuh ibu kandungnya (jika seorang ibu
tidak rela untuk melepaskannya, maka anggota keluarga yang lainnya akan
mengambil paksa dengan cara apapun), kemudian apabila bayi kembar
tersebut telah sama-sama dewasa, mereka akan dipertemukan, lalu
dikawinkan baik suka maupun tidak, seandainya salah satu diantara mereka
ada yang meninggal dunia, maka yang hidup dilarang menikah dengan
siapapun selamanya, jika ia melanggar, akan kehilangan semua yang harus
menjadi haknya kecuali seperangkat pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Tradisi
yang telah melekat pada masyarakat Jampang Manggung ini, dapat dihapus
dengan cepat dan tepat oleh Danu Sangkalang dan diterima oleh semua
pihak, sehingga setiap ibu yang sedang hamil tidak lagi merasa hawatir
apabila kelak yang lahir adalah bayi kembar yang berlainan jenis, tidak
saja sampai disitu peraturan yang dipakai oleh Danu Sangkalang bagi
seluruh rakyatnya, bahkan ada larangan tegas untuk menikahkan diantara
saudara kembar yang berlainan jenis tersebut, karena hal ini sangat
bertentangan dengan ajen yang diajarkan para Ing Paya.
Contoh
kedua disebut Bawil : Jika seseorang atau sebuah keluarga bahkan suatu
kampung mempunyai dendam terhadap pribadi seseorang, keluarga, atau
kampung yang lain, mereka akan mencari hewan kambing yang berwarna hitam
atau kerbau yang bertanduk dongkol (tanduk ke bawah) untuk dijadikan
media upacara sesaji, caranyapun sangat keji, pertama-tama, kambing atau
kerbau itu disiksa sedemikian rupa tanpa ada rasa sayang dan kasihan
sehingga roboh, setelah itu baru dialirkan darah lehernya untuk diminum
oleh orang yang mempunyai dendam tersebut, baru kemudian dagingnya
dimakan bersama sambil tertawa tebahak-bahak agar kekuatan roh dapat
membantu melaksanakan tujuannya, setelah selesai upacara itu, dua atau
tiga orang diantara mereka yang akan mencari dan membunuh orang yang
dianggap musuhnya tersebut memakan jantung dan hatinya mentah-mentah
sekenyang-kenyangnya sampai muntah, kemudian mereka pergi menemui
musuhnya, jikalau mereka berhasil membunuhnya, kemudian dadanya dibelah
lalu diambil hati dan jantungnya untuk dimakan atau hanya sekedar
dikunyah dan sebahagian disemburkan kearah mukanya, lalu diambil
kepalanya dan disimpan dipinggir rumah atau di dapur sampai menjadi
tengkorak dan dibiarkan keberadaannya sampai tujuh turunan. Tradisi
upacara ini disebut Bawil.
Kebiasaan
inipun dengan cepat dan tepat langsung dihapus oleh Danu Sangkalang,
bahkan ia berpendapat justru tradisi ini bukan warisan dari Adam dan
Hawa serta Syits, bukan pula ketentuan ajen yang diwariskan oleh Sang
Mulia Sakti, melainkan hanya kebiasaan Dasa muka dari Astina (Rahwana),
serta warisan Ajus Marjus (kemungkinan yang dimaksud dengan Ajus Marjus
adalah Ya’juj Wa Ma’juj dalam Al-Qur’an atau Gog Ma Gog di dalam Bibel).
Seketika itu pula tradisi ini terkubur seiring dengan kebijakan Danu
Sangkalang yang cemerlang.
Contoh
ketiga Tradisi Ciling : Jika seorang pejabat baik tingkat tinggi atau
rendah bahkan Raja sekalipun yang dikaruniai seorang bayi cacat salah
satu anggota tubuhnya, maka istrinya harus dibuang atau diasingkan ke
hutan bersama bayi tersebut, karena akan membawa pengaruh sial terhadap
bangsa dan Negara.
Tradisi
ini juga langsung dihapus oleh Danu Sangkalang dengan berani dan
lantang ia berkata : Ini sangat bertentangan dengan ajen yang berlaku di
bumi pertiwi yang telah diwariskan oleh Sang Mulia Sakti dari Ayah Adam
dan Ambu Hawa juga dari Aki Syits, kebiasaan buruk ini hanyalah datang
dari Jarian Moyan.
Dengan
demikian tidak perlu lagi hawatir akan nasib keluarganya seandainya
salah seorang Pejabat dikaruniai keturunan yang ditakdirkan ada cacat
diantara salah satu anggota tubuhnya. Kebiasaan buruk tersebut di atas
disebut Ciling.
Danu
Sangkalang menduduki tahta kerajaan selama 52 tahun. Kemudian setelah
beliau ditinggal adik kesayangannya yang menjadi Patih kepercayaan,
beliau sering menderita sakit panas dan demam.
Pada
saat menjelang ajalnya, Danu Sangkalang memanggil putranya yang tunggal
bernama Pita Kumana Jaya, lalu beliau menunjuknya untuk menggantikan
tahta kepemimpinan di Kerajaan Jampang Manggung.
Pita Kumana Jaya dan Jampang
Pada
masa Pita Kumana Jaya menjadi Raja Jampang Manggung, Ing Payagung Aki
Seuseupan berpamitan kepada Sang Raja untuk kembali ke kampung
halamannya bersama keluarga, mengingat tugas di dalam keluarga istana
sudah dianggap selesai. Dengan berat hati Pita Kumana Jaya melepas
kepergiannya dan diberikan pula bermacam-macam hadiah sebagai tanda
terima kasih yang tiada terhingga, yaitu beberapa keping Mas dan Perak
serta Perunggu ditambah dua ekor Kuda dan tujuh ekor Kerbau lengkap
dengan dua orang pengembalanya.
Di
dalam menjalankan setiap program dan peraturan kerajaan, Pita Kumana
Jaya selalu mengikuti petunjuk ayahnya, ia pun sangat menjaga dan
memelihara keberhasilan yang telah diraih ayahandanya.
Para
Patih yang membantu beliau masing-masing bernama : Kutamadunya,
Suryalaga, Bomanlarang, Sokoganggalang, dan Rangijid. Pita Kumana Jaya
menikah dengan seorang putri dari Gunung Cereme ( Gunung Ciremai di
wilayah Cirebon sekarang) ia bernama Putri Salangkang Pati.
Pada
masa itulah Jampang Manggung mengalami puncak kejayaannya terutama
dalam kesejahteraan, pengobatan, dan kesehatan, sehingga mampu menjalin
persahabatan dengan negeri lain baik yang langsung berbatasan dengan
Jampang Manggung maupun yang jauh di seberang sana.
Banyak
utusan Negara atau yang datang atas inisiatif dirinya sendiri yang
datang ke Jampang Manggung untuk belajar, study banding, dan penelitian
mengenai pengobatan yang dikembangkan para Ing Paya di Pasangrahan,
terutama dari negeri Cina, Campa, dan Gangga serta Banggala.
Namun
sayang seribu sayang pada saat menginjak usia 39 tahun Pita Kumana Jaya
menderita penyakit yang cukup parah, sehingga berdampak kepada kondisi
Kerajaan dan rakyat Jampang Manggung, karena yang menjalankan roda
pemerintahan semenjak Pita Kumana Jaya dalam keadaan sakit dipegang oleh
lima Patih yang kurang kompak dan tidak sejalan. Adapun Patih yang
benar-benar setia dan jujur terhadap Raja dan Kerajaan serta jauh dari
penghianatan dan kebiadaban adalah Kutamadunya, Suryalaga, dan
Bomanlarang. Sedangkan Sokoganggalang dan Rangijid adalah dua orang yang
memiliki kepribadian yang buruk, baik dalam perkataan, maupun
perbuatan. Mereka berdua sering melontarkan pitnah tanpa merasa berdosa
dan menakut-nakuti warga yang tidak simpati kepadanya atau bahkan
bertindak sewenang-wenang menurut keinginannya tanpa melihat ajen-ajen
yang berlaku.
Mulai
saat itu situasi dan kondisi di Jampang Manggung mulai resah dan
meresahkan, keamanan dan ketertiban mulai terganggu, apa lagi pada saat
Pita Kumana Jaya meninggal dunia.
Pita
Kumana Jaya meninggalkan seorang istri yang bernama Putri Salangkang
Pati dan dua orang anak masing-masing bernama Laganastasoma dan Putri
Sangwangi.
Pada
waktu Patih Kutamadunya, Suryalaga, dan Bomanlarang sibuk mengurusi
jenajah dengan menyediakan segala pasilitas kebutuhannya, begitu juga
membantu menenangkan keadaan didalam Keraton, bagi Sokoganggalang dan
Rangijid justru mereka berdua sibuk menggalang kekuatan dan menebar
propokasi terhadap warga masyarakat agar mau menjadi pendukung dan
pengikutnya dengan cara diberikan iming-iming kedudukan harta dan
kesenangan, Soko Ganggalang dan Rangijid semakin kelihatan ambisinya
untuk menduduki tahta Kerajaan sekalipun dengan cara yang tidak sah
bahkan menghalalkan segala macam cara.
Di
luar Keraton warga semakin gelisah, ada yang pro dan ada pula yang
kontra, bagi mereka yang kontra terhadap ambisi Soko Ganggalang dan
Rangijid, mulai memperlihatkan keberaniannya dengan cara melawan melalui
protes ucapan, tetapi tidak sedikit protes mereka berakhir di penjara
atau di siksa bahkan sebahagian ada yang di bunuh, kekacauan ini semakin
meluas sampai ke pelosok-pelosok desa kecuali Keraton dan sekitarnya
dapat di amankan dan di kendalikan oleh Kutamadunya, Suryalaga dan
Bomanlarang.
Untuk
menghindari lebih banyak korban di antara warga, secara
sembunyi-sembunyi tiga Patih yang setia terhadap Pita Kumana Jaya dan
Kerajaan Jampang Manggung, mengirim surat dan di tanda tangani oleh
Putri Salangkang Pati dan Tiga Patih tersebut, yang isinya kurang lebih :
Di karenakan situasi dan kondisi Jampang Manggung sudah di kendalikan
oleh Soko Ganggalang dan Rangijid sedangkan kami hanya dapat mengamankan
Istana dan keluarganya, maka dengan ini di persilahkan kepada warga
yang mau meninggalkan Jampang Manggung untuk pergi ke arah selatan
menuju Negri Agra untuk mencari kehidupan yang aman sejahtera
sebagaimana yang kita harapkan dan seperti Jampang Manggung semula.
Setelah
mereka membaca dan memahami surat yang datang dari Keraton Jampang
Manggung, tidak kurang dari 100 kepala keluarga langsung pergi
meninggalkan Jampang Manggung menuju ke Negri Agra pada hari pertama,
kemudian hari ke dua ada 60 kepala keluarga mengikuti kepergian
tersebut.
Sesampainya
di Negri Agra, mereka di sambut oleh para pejabat dan warga di sana,
karena merekapun sudah tahu keadaan keamanan di Jampang Manggung pada
saat ini, lalu mereka di tempatkan di berbagai lahan agar nantinya ikut
menggarap lahan tersebut bagi kepentingan kehidupan bersama. Mereka pun
menempati tempat yang berbeda, ada yang dipinggir Sungai, ada yang
berdekatan dengan pantai Laut selatan, ada yang menempati lokasi paling
barat ( Kulon ), tengah dan timur.
Sebelum
kehadiran warga yang datang dari Jampang Manggung di Negri selatan
Agra, belum ada suatu tempat yang disebut Jampang, tetapi setelah warga
Jampang Manggung menetap bahkan mendominasi dalam penggarapan lahan dan
pertanian sebutan warga Jampang terdengar setiap saat karena mereka
adalah orang Jampang Manggung, berawal dari situlah sebutan Jampang
menjadi kental dan milik orang selatan ( Cianjur selatan, Sukabumi )
bahkan tidak lagi disebut Jampang Manggung, tetapi cukup dengan sebutan
Jampang, lalu berkembang seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang
menempati wilayah Barat, tengah dan timur sehingga ada yang disebut
Jampang Kulon, Jampang Tengah dan Jampang Wetan.
Putri Salangkang Pati beserta kedua Anaknya pergi meninggalkan Keraton
Sebelum
Soko Ganggalang dan Rangijid datang ke Keraton dengan membawa
pasukannya untuk mengacau-balaukan suasana dan merebut tahta Kerajaan,
maka Putri Salangkang Pati sudah terlebih dahulu diberitahu oleh
orang-orang yang setia kepada Pita Kumana Jaya, dengan di antar dan
diamankan oleh Tiga Patih, Kutamadunya, Suryalaga dan Bomanlarang, Ia
berpamitan kepada Ibu mertuanya yaitu Putri Kancing Sarati untuk memohon
do’a restunya, malam itu juga mereka pergi kearah selatan dengan
berjalan kaki menuju Rumah Ing Payagung Aki Seuseupan yang dahulu
menjadi penasehat di Kerajaan Jampang Manggung semasa Danu Sangkalang (
mertua Putri Salangkang Pati ).
Aki
seuseupan memahami dan mengerti keadaan yang terjadi di Jampang
Manggung pada saat ini, sehingga beliau menyarankan agar tidak sering
keluar rumah khawatir banyaknya mata-mata Soko Ganggalang dan Rangijid.
Setelah
Tiga Belas tahun Putri Salangkang Pati tinggal bersama keluarga Aki
Seuseupan, Ia melihat dua anaknya yang kini telah beranjak dewasa, yang
pertama Laganastasoma kini sudah berusia 22 tahun sedangkan adiknya
Putri Sang Wangi telah berusia 15 tahun padahal ketika baru datang di
rumah Aki Seuseupan usia Laganastasoma baru menginjak sembilan tahun
sedangkan putri Sang wangi baru berusia dua tahun.
Sekarang saatnya Putri Salangkang Pati merasa perlu diskusi untuk rencana berikutnya.
Setelah
mengadakan diskusi bersama dua anaknya, ke esokan harinya mereka
menghadap kepada Ing Payagung Aki Seuseupan untuk mengucapkan terima
kasih atas segala kebaikannya dan kebaikan keluarganya, juga permohonan
maaf dan sekaligus berpamitan, sekalipun dengan berat hati akhirnya Aki
Seuseupan dan keluarganya melepas kepergian mereka dengan do’a dan
restunya.
Selama
di perjalanan mereka bertiga selalu berbincang-bincang, akan kemanakah
mereka melangkah dan siapa pula yang akan di tuju, sebab kembali ke
Jampang Manggung apalagi ke Keraton, sesuatu yang tidak memungkinkan
mengingat kondisi pada saat itu, akhirnya mereka mampir di suatu gubuk
yang berada di pinggir jalan.
Sambil
beristirahat disana, Laganastasoma bertanya kepada pengembala Kerbau
siapakah gerangan pemilik gubuk tersebut, pemiliknya ternyata seorang
Jema (saudagar kaya raya yang dermawan).
Kehadiran
tiga tamu yang berada di gubuk tersebut sampai ke telinga Jema,
kemudian pada malam harinya, Jema dengan ditemani beberapa anak buahnya
datang dengan membawa makanan untuk menjamu tamunya.
Ketika
mereka bertemu, terjadi silaturrahmi yang akrab dan mengikat batin
persaudaraan, bahkan sewaktu Laganastasoma dan ibunya meminta izin untuk
menginap, Jema mempersilahkannya dengan senang hati, bila perlu dan mau
boleh tinggal selama-lamanya, dan akan disediakan perbekalan secukupnya
untuk kebutuhan sehari-hari, kemungkinan bagi Jema hal ini biasa
dilakukan terhadap siapapun yang membutuhkan pertolongan, apalagi tiga
tamu ini bagi Jema merupakan anugrah Tuhan yang tiada tara, karena dalam
hati Jema ada suatu kecurigaan bahwa tiga tamu tersebut adalah keluarga
mendiang Raja Pita Kumana Jaya yang menghilang entah kemana selama 13
tahun. Mendengar tawaran itu, Putri Salangkang Pati dan kedua anaknya
sungguh merasa senang, karena selama ini mereka merasa bingung harus
kemana pergi, belum jelas tempat yang akan dituju.
Pada
waktu bangun tidur, Laganastasoma menyampaikan apa yang dialami dalam
mimpinya kepada ibu dan adik kandungnya, yakni ia kedatangan ayahandanya
Pita Kumana Jaya dan menasehati agar tidak melanjutkan perjalananya,
melainkan harus tinggal di gubuk ini, sebab gubuk ini akan menjadi cikal
bakal pasanggrahan besar yang sangat terkenal dan membawa harum tempat
dan wilayahnya, dan disampaikan pula bahwa pemilik gubuk ini seorang
Jema keturunan negri para Sunda yang ada kaitan dengan nenek moyang
mereka Kujang Pilawa, ia seorang Jema yang baik hati dan memahami
tentang ajen, setelah mendengar pengalaman Laganastasoma di dalam
mimpinya, Putri Salangkang Pati dan ke dua anaknya langsung memutuskan
akan tinggal disana dalam waktu yang tidak terbatas.
Kedekatan
keluarga Laganastasoma dengan keluarga jema, semakin memperkuat dugaan
dari sebagian besar masyarakat dan keluarga Jema sendiri, bahwa tiga
orang yang menempati gubuk tersebut adalah keluarga Keraton Jampang
Manggung yang sekarang telah menjadi Ing Paya, karena mereka menilai
ucapan dan tindakannya benar-benar menjadi teladan dan contoh yang
meluruskan prilaku warga.
Maka
Jema memulai membangun Pasanggrahan yang cukup besar dengan bantuan
tenaga masyarakat sekitarnya sampai dengan selesai, dari situlah dimulai
adanya kegiatan untuk mengajarkan ajen oleh Ing Paya Laganastasoma
kepada murid-muridnya dan masyarakat sekitar.
Pasanggrahan
pun semakin hari semakin ramai oleh orang-orang yang berkunjung atau
yang meminta pertolongan mengenai penyakit. Sebagai seorang Ing Paya
yang diwarisi Ilmu dari Ing Payagung Aki Seuseupan, Laganastasoma tampil
sebagai seorang yang sangat pandai mengajar Ajen Galuh, Ajen
Pananggelan dan Ajen Galunggung, selain itu pandai pula mengobati
berbagai macam penyakit berdasarkan Ilmu yang diterima dari Aki
Seuseupan.
Pasanggrahan
yang diasuh oleh Ing Paya Laganastasoma akhirnya terkenal dengan nama
Pasanggrahan Pananggelan, mungkin karena terbawa oleh sebutan salah satu
Ajen yakni Ajen Pananggelan, bahkan Gunung yang berada di belakang
Pasanggrahannya pun disebut Gunung Pananggelan atau Gunung Pananggel,
karena kemungkinan dialek dari lidah manusia yang berkembang secara
tidak terasa sebutan Pananggel menjadi Mananggel dan sebutan inilah yang
paling populer untuk Gunung tersebut dan Pasanggrahannya pun akhirnya
disebut pula Pasanggrahan Mananggel.
Dalam
usia 25 tahun Ing Paya Laganastasoma menikah dengan Putri Candra Wulan
dari Gunung Padang, dan dikarunia dua orang putri dan satu putra
masing-masing bernama Jamalillah, Sakalillah, dan Indalana (Jamali
Wetan).
Ing Payagung Laganastasoma diundang oleh Raja Soko Ganggalang
Keberadaan
dan kemajuan Pasanggrahan Mananggel dengan Ing Payagungnya sampai ke
telinga Soko Ganggalang, sehingga dalam keadaan sakit keras ia mengutus
beberapa utusan untuk menjemput Ing Payagung agar dapat membantu
mengobati penyakit yang dideritanya, tetapi permintaan ini membuat hati
ibu Laganastasoma tidak percaya, ia hawatir semua itu hanya merupakan
jebakan dari akal bulus Soko Ganggalang, dengan demikian Laganastasoma
pun tidak langsung menyanggupinya dengan alasan kesibukan yang tidak
bisa ditinggalkan, lalu ia meminta waktu selama tiga hari, dalam waktu
tiga hari Ing Payagung Laganastasoma selalu meminta petunjuk dan
perlingdungan dari Sang Hiang Widi. Sampai akhirnya kepada kesimpulan
bahwa keberangkatannya ke Jampang Manggung tidak akan terjadi sesuatu
yang tidak diharapkan, serta Soko Ganggalang benar-benar dalam keadaan
buta hati dan buta fikirnya, Ia tidak tahu sama sekali bahwa Ing
Payagung yang diundang itu adalah Putra Mahkota yang lebih berhak
menduduki jabatan Kerajaan, tidak sedikit pun terpikir oleh
Laganastasoma untuk merebut kembali haknya sebagai Raja, Ia lebih
memilih menjadi Ing Paya.
Setelah
berhasil mengobati Soko Ganggalang Ia pun kembali ke Pasanggrahan
Mananggel dengan membawa beberapa hadiah dari Kerajaan antara lain
sepuluh ekor Kerbau, sepuluh ekor Sapi dan tiga puluh ekor Kambing
ditambah dengan sepuluh keping emas, kemudian sebagian besar menjadi
modal usaha bagi masyarakat di sekitar Pasanggrahan Mananggel.
Satu
tahun kemudian Ing Payagung Laganastasoma mendapat undangan kembali ke
Keraton Jampang Manggung dalam rangka membantu memulihkan keamanan
melalui pendekatan spiritual dan sosial, karena pamor dan wibawa
Kerajaan Jampang Manggung semenjak dipimpin oleh Sokoganggalang bukannya
semakin naik, bahkan terus melorot, apalagi ketika putra Sokoganggalang
yang bernama Tarunggdawaling menjadi salah satu pemimpin dari sebuah
kelompok/organisasi kepemudaan, sering sekali terjadi perampokan,
perkosaan, dan tindakan-tindakan tercela lainnya, Hal ini baru disadari
oleh Sokoganggalang, walau bagaimanapun kehebatan politik dari seorang
pemimpin tanpa disertai ajen yang membangun jiwa spiritual dan budi
pekerti yang luhur dapat menyebabkan kehancuran dari dalam dan dari
luar, Apalagi ia mengingat dengan cara apa ia sampai duduk di Tahta
Kerajaan Jampang Manggung, dan bagaimana pula pamor Jampang Manggung
yang begitu wangi ketika dipimpin oleh Pitakumana Jaya dan para
leluhurnya.
Pada
hari-hari berikutnya Sokoganggalang sering murung seperti diselimuti
oleh kesedihan dan kebingungan, apalagi setelah mengetahui putranya
Tarungdawaling memiliki kebiasaan buruk yang semakin menjadi-jadi, tanpa
seorangpun yang bisa melarang sekalipun telah banyak diketahui oleh
para pejabat dan warga masyarakat.
Akhirnya
Sokoganggalang memanggil para Ing Paya yang sebelumnya tidak pernah
diperhatikan, bahkan banyak yang disingkirkan perannya di Kerajaan dan
di masyarakat, Setelah mendengar masukan dari para Ing Paya, maka
Sokoganggalang sepakat untuk memanggil Ing Payagung Laganastasoma
bersama muridnya untuk ikut memberikan wejangan ajen dan kembali seperti
sediakala.
Sesampainya
di Keraton Laganastasoma langsung berdialog dengan Sokoganggalang dan
para pejabat lainnya, dan menyampaikan bahwa : dalam keadaan seperti ini
tidak cukup dengan wejangan saja bila ingin Negara aman, tetapi harus
menangkap para perusuh yang selalu mengacaukan ketertiban dan keamanan,
kata-kata ini diajukan sebagai syarat pertama dari Laganastasoma untuk
ikut andil memberikan atikan dalam hari-hari berikutnya, mendengar
pengajuan ini Sokoganggalang merasa kebingungan karena bagi dirinya ada
dilema, menyanggupi atau menolaknya, jika ia menyanggupi, maka ia merasa
akan mendapat malu besar, sebab sumber kerusuhan itu adalah putranya
sendiri, namun Negara akan aman dan pamor Jampang Manggung akan naik
kembali. Hal ini keuntungan yang luar biasa, jikalau ia menolaknya hanya
untuk menutupi prilaku anaknya, maka Krajaan Jampang Manggung sebentar
lagi akan kiamat, akhirnya Ia menerima pengajuan Laganastasoma.
Dalam
rangka mengejar para perusuh, Laganastasoma memimpin murid-muridnya
bersama para petugas lain ke tempat-tempat persembunyian sehingga mereka
tertangkap dan sebahagian lagi menyerahkan diri, sedangkan
Tarungdawaling melawan habis-habisan terhadap Laganastasoma, sehingga
Tarungdawaling mengalami luka yang sangat parah dan langsung dibawa ke
Keraton untuk dilaporkan kepada Sokoganggalang.
Hanya
satu bulan lamanya Laganastasoma berada di Kraton Jampang Manggung,
setelah itu Ia kembali ke Mananggel dengan diberi gelar kehormatan oleh
para Ing Paya yang diresmikan oleh Kerajaan Jampang
Manggung yakni : Ing Payagung/Ing Paya Tapak, artinya seorang guru ajen
yang sangat dalam Ilmu pengetahuannya dan luas wawasan berfikirnya.
Putri Candra Wulan dari Gunung Padang istri Laganastasoma
Di
dalam Pernikahan Laganastasoma dengan Putri Candra Wulan dari Gunung
Padang dikaruniai tiga orang anak, dua putri dan satu putra,
masing-masing bernama Jamalillah, Sakalillah dan Indalana, namun dengan
tidak disangka-sangka Putri Candra Wulan meninggal dunia dalam usia
muda, hal ini membuat hati Laganastasoma sangat terpukul dan bersedih.
Oleh karena itu Ia sering bersemedi untuk selalu berserah kepada
keputusan Tuhan yang sangat menyayangi semua makhluknya.
Untuk
menghormati Putri Candra Wulan, maka jenazahnya dikebumikan
(dikuburkan) di puncak Gunung Mananggel sebagaimana tradisi leluhurnya
jika ada seseorang yang meninggal dunia dari kalangan terhormat dan para
ningrat, maka akan menempatkan jenazah tersebut di puncak Gunung atau
Lemah Duhur ( Tanah tinggi ).
Laganastasoma menikah dengan Dewi Niskalawati
Setahun
sudah Ing Paya Tapak ditinggal Istri tercintanya Putri Candra Wulan,
namun Ia tetap masih belum berencana untuk beristri lagi, sehingga
ibunya, Putri Salangkang Pati memberikan saran dan nasihat agar menikah
lagi dengan seorang wanita yang menyayanginya dan menyayangi
anak-anaknya.
Atas
dasar saran dari ibunya dan pertimbangan dari pemikirannya, akhirnya Ia
menyampaikan maksudnya tersebut kepada Jema yang sudah di anggap orang
tuanya sendiri, setelah mendengar dan memahami apa yang di sampaikan
oleh Ing Paya Tapak Laganastasoma, keesokan harinya Jema berangkat
dengan membawa Laganastasoma ke Purwa untuk anjang sana dan melamar Dewi
Niskalawati yang masih ada kaitan saudara dengan Jema, tidak lama
kemudian upacara pernikahan dengan Dewi Niskalawati pun berlangsung
secara sederhana, tetapi dari pernikahannya ini tidak satu pun di
karuniai keturunan.
Laganastasoma menikah dengan Manik Kancala
Walaupun
sudah berlangsung lama Ing Paya Tapak berumah tangga bersama Dewi
Niskalawati, tetapi belum satu pun keturunan yang di perolehnya,
sehingga Dewi Niskalawati merasa ada yang masih kurang, sekalipun ada
putra-putri yang dapat Ia asuh dari Putri Candra Wulan, namun hatinya
membutuhkan sesuatu.
Entah
apa yang melatarbelakangi pemikiran Niskalawati, sehingga Ia berani
menyuruh Ing Paya Tapak untuk beristri lagi dengan seorang gadis yatim
piatu yang berada di Purwa, Ia bernama Manik Kancala, setelah perkawinan
dengan Manik Kancala, bernasib sama dengan Niskalawati dari keduanya
tidak melahirkan satupun keturunan.
Menikah dengan Tin Lumiang ( Lumiang Tin ) dari negeri Cina
Ilmu
pengobatan yang berkembang di Tanah Sunda dengan menggunakan : Akar,
kulit, dan daun pepohonan serta media air sungai untuk mandi atau air
bersih yang keluar dari serapan sangat terkenal ke berbagai Negara
termasuk Cina, sehingga pada suatu ketika di Negeri Cina ada acara
Barongkok (seminar) tentang ilmu kesehatan dan pengobatan, kemudian Cina mengundang
Kerajaan-kerajaan lain untuk mengirimkan wakilnya termasuk dari Jampang
Manggung bahkan ketika itu Ing Paya Laganastasoma menjadi salah satu
Litagung (narasumber).
Dalam
acara tersebut Laganastasoma mendapat perhatian dari berbagai utusan
Negri, antara lain dari seorang Tabib wanita bernama Lumiang Tin ( Tin
Lumiang ), bahkan Ia ikut ke Pasanggrahan Mananggel bersama rombongan
dari berbagai Kerajaan dari tatar Sunda seperti Malabar, Sundapura,
Purwakarta dan Taruma Nagara dengan sebutan Sunda Jaya Dwipa, kemudian
Ia belajar dan membandingkan pengobatan yang ada di Negri Cina dengan
pengobatan di tatar Sunda kepada Ing Payagung Laganastasoma.
Pada
akhir kemudian Lumiang Tin ( Tin Lumiang ) menikah dengan
Laganastasoma, setelah terlebih dahulu pulang ke Negrinya untuk meminta
ijin dan berpamitan kepada keluarganya karena akan tinggal bersama Ing
Payagung Laganastasoma di Mananggel.
Dari
pernikahan Laganastasoma dengan Lumiang Tin ( Tin Lumiang ) dikaruniai
dua orang Anak seorang putra dan seorang Putri, masing-masing bernama
Indra Prakarsa dan Inji Sari.
Gunung Geulis dan Sunan Ambu
Putri
Salangkang Pati tinggal bersama Putra-putri dan mantunya (
Laganastasoma/Dewi Sang Wangi/Niskalawati/Manik Kancala dan Lumiang Tin )
sudah cukup lama, bahkan sebelumnya bersama mendiang Putri Candra
Wulan, maka tibalah saatnya ia harus pindah tempat tinggal. Hal ini
disampaikan kepada Laganastasoma. Ia ingin mendekati Gunung sebelah
barat, kebetulan disana lebih banyak ditemukan pohon-pohon yang
berkhasiat untuk obat, di samping itu ia ingin masa tuanya digunakan
untuk lebih rajin bersemedi.
Permintaan
Putri Salangkang Pati, langsung mendapat sambutan Putranya
Laganastasoma. Ia langsung mendirikan Pasanggrahan baru untuk ibu dan
adiknya, Sangwangi. Atas bantuan dari Jema dan murid-muridnya serta
halayak masyarakat, dalam waktu yang singkat Pasanggrahanpun selesai
dibangun, kemudian dihuni oleh sang ibu dan adiknya.
Kehadiran
Putri Salangkang Pati dan Putri Sangwangi menambah manfaat bagi
kehidupan seluruh masyarakat yang ada di sekitarnya. Di samping ia
seorang Ing Paya wanita yang sering memberikan pertolongan kepada yang
membutuhkan, juga semakin memudahkan bagi Laganastasoma untuk
menyediakan bahan-bahan untuk obat di Pasanggrahan Mananggel, karena
selalu dikirim oleh ibunya dari Pasanggrahan yang baru.
Hampir
setiap saat banyak orang yang datang ke Pasanggrahan Putri Salangkang
Pati untuk meminta pertolongan dari penyakit yang diderita ataupun hanya
sekedar beranjang sana.
Putri
Salangkang Pati dan Putri Sangwangi, kedua-duanya merupakan wanita yang
sangat rupawan, cantik jelita, dan berbudi pekerti luhur menjauhi
sifat-sifat tercela yang dapat menjatuhkan martabatnya, sehingga ia
sangat dihormati, disayangi, dan dipiseupuh oleh semua pihak, karena
dari penghormatan inilah yang menyebabkan ia dijuluki Sunan Ambu, dan
Gunungnya disebut Gunung Geulis sebab, ada dua tokoh wanita yang cantik
rupawan dan menjadi wanita terkenal yang banyak memberi manfaat bagi
kemanusiaan.
Putri Sangwangi dan Gajah Panambur
Sekalipun
sudah usia dewasa, Putri Sangwangi masih belum bersuami, hal ini
dimungkinkan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk menjaga perasaan
dari pria yang menginginkannya.
Bagi
ibunya, masalah ini menjadi pikiran yang kadang-kadang membingungkan,
harus bagaimana mencari penyelesaiannya. Akhirnya disampaikan ke
kakaknya Laganastasoma yang ada di Pasanggrahan Mananggel. Bagi
Laganastasoma, persoalan keluarga berarti pula persoalan dirinya, dengan
penuh tanggung jawab ia pun tidak tinggal diam, bahkan pada hari itu
juga ia pergi ke sebuah tempat yang bernama Jajarsingki untuk menemui
seorang pemuda yang digelar Gajah Panambur salah satu cucu dari Ing
Payagung Aki seuseupan.
Kehadiran
Laganastasoma di Jajarsingki membuat Gajah Panambur salah tingkah
karena saking gembira dan rasa hormat kepadanya. Namun demikian seketika
itu Gajah Panambur dapat mengatasi keadaan serta menyambutnya dengan
sungkem dan menjamu seadanya.
Pada
hari berikutnya Laganastasoma masih belum menyampaikan maksud yang
sesungguhnya, malahan ia ingin mengajak Gajah Panambur tukar Ilmu dan
tukar pengalaman. Tentu saja bagi Patih Gajah Panambur sekalipun rasanya
berat karena ia tahu siapa Laganastasoma sebenarnya, namun ia pun harus
meladeni apa yang dipinta oleh Ing Payagung.
Tujuh
hari tujuh malam pertarungan kekuatan ilmu dan kanuragan berlangsung
antara Laganastasoma dan Gajah Panambur yang berakhir dengan keunggulan
Ing Payagung Laganastasoma.
Bagi
Laganastasoma, peristiwa ini sangat mengagumkan karena, melihat Gajah
Panambur yang akan menjadi calon suami adiknya, bukanlah orang
sembarangan. Kalau saja bukan dirinya yang menghadapi Gajah Panambur,
atau ia merasa ujub dan lengah tentu pertarungan akan dimenangkan oleh
Gajah Panambur. Beruntung saja Laganastasoma orang yang sakti mandraguna
dengan penuh hati-hati dan kecermatan yang dimilikinya mampu menundukan
Gajah Panambur.
Sedangkan
bagi Gajah Panambur, peristiwa ini merupakan pengalaman baru yang
sangat berharaga. Tidak pernah ia dikalahkan oleh para jawara dari
manapun sekalipun pertarungan dilakukannya ratusan kali. Gajah Panambur
sangat mengakui kehebatan yang dimiliki Laganastasoma.
Setelah
mereka berdua cukup istirahat yang dilanjutkan dengan obrolan, maka
Laganastasoma baru menyampaikan maksud kedatangannya untuk membawa Gajah
Panambur ke Pasanggrahan Gunung Geulis.
Tawaran
ini membuat hati Gajah Panambur semakin tidak menentu. Bukan karena
tidak mau, justru karena ia merasa malu menjadi bagian dari keluarga
orang yang sangat ia hormati. Tetapi akhirnya dengan hati yang tenang
dan ucapan yang merendah, ia pun ikut bersama Laganastasoma ke
Pasanggrahan Mananggel. Lalu setelah istirahat satu malam, mereka pergi
ke Pasanggrahan Gunung Geulis untuk menemui Sunan Ambu dan Putri Sangwangi. Yang akhirnya pernikahanpun dilaksanakan antara Putri Sangwangi, dan Patih Gajah Panambur.
Kegiatan Putri Salangkang Pati
Dalam
mengisi waktu luangnya Ambu Salangkang Pati, selalu ingat akan tugas
kemanusiaannya, ya’ni memberikan pelayanan kesehatan terhadap halayak
dengan cara mengumpulkan obat-obat dari tanaman berkhasiat yang sudah
tersedia di sekitar Gunung Geulis terutama di Leuweung Datar.
Setelah
obat-obat itu dibersihkan, dijemur kemudian dimasukkan kedalam Bodag
dan diantar paling lambat sekali dalam satu minggu ke Pasanggrahan
Mananggel oleh Gajah Panambur, namun setelah kedatangan Patih Suryalaga,
Bomanlarang dan Kutamadunya di Pasanggrahan Gunung Geulis, tugas ini
diberikan kepada mereka bertiga, Ambu Salangkang Pati hanya memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap mereka mengenai tanaman berkhasiat
serta cara meracik dan memakainya.
Ada
dua puluh tanaman yang khas dipergunakan oleh Ing Payagung
Laganastasoma di Pasanggrahan Mananggel, yang sebahagian besar di pasok
dari Gunung Geulis yaitu : Jawir Gotok, Garas Tulang, Gatuk, Kuning
Kerud, Cangkring, Baceta, Saralatu, Wali Paya, Sira’an, Badutan,
Koncian, Jaringao, Lampuyang, Jehe Pait, Luru Abang, Daun Urat, Kawat
Wesi, Jangelan, Surupan, Pager Rasa.
Setelah
tugas kemanusian Ambu Salangkang Pati merasa terbantu oleh tiga Patih
serta Gajah Panambur selaku mantunya, maka Ia pun lebih sering naik ke
puncak Gunung Geulis untuk bersemedi disana sampai Ia menemui ajalnya
dalam usia 114 tahun.
Sunan Ambu dan Gunung Geulis
Ambu Salangkang Pati dikebumikan di puncak Gunung Geulis sebagaimana tradisi yang turun temurun, bahwa Gunung merupakan tempat yang sangat layak bagi para pemimpin, tokoh dan orang-orang terhormat lainnya.
Sebutan
Putri Salangkang Pati pun, mulai tidak terdengar lagi, justru yang ada
adalah sebutan Sang Ambu atau Sunan Ambu, sebutan inilah yang sangat
terkenal di masyarakat Gunung Geulis dan sekitarnya, Mangkubanyu, Putri
Largading., adapun nama lainnya : Nyi Mas Galing Muntang Mayang Kembang,
Lintang Mayang Sari, Sunan Ambu Mangkubanyu
Ing Payagung Laganastasoma dan Warahnya ( Nasihat-nasihatnya )
Setelah
menerima penghargaan baik yang berupa gelar maupun yang bersipat
materi, Laganastasoma semakin berat memikul tanggung jawab, karena Ia
merasa bahwa apa yang terjadi hari ini salah satunya hasil dari kemarin
serta persiapan untuk menghadapi hari esok, maka oleh sebab itu Ia lebih
sering bermujasmedi untuk memohon petunjuk jalan hidup agar tidak
menyesal di akhir kemudian.
Pasanggrahan
di Mananggel semakin hari kian tambah ramai keadaannya, beruntung
murid-murid Ing Payagung Laganastasoma sudah banyak yang mengetahui dan
menguasai ilmu kesehatan dan pengobatan sehingga dapat meringankan tugas
kemanusiaan yang di pikul oleh Ing Payagung.
Ada dua puluh tujuh Warah yang paling terkenal dari Ing Payagung Laganastasoma dengan sebutan Warah Werih weruh :
- Hidup bukanlah sebuah pesanan diri kita, manusia makhluk yang menerima pesan, oleh karenanya baktikan napas dan gerakmu, mata dan kupingmu, pikiran dan perasaanmu untuk Sang Hyang Tunggal, pasti jiwa ragamu akan memperoleh kesentosaan dan kemenangan.
- Ingatlah kepada Ayah Adam dan Ambu Hawa serta Ayah Syits yang menjadi Pangagung ( Pemimpin ) kemudian cucunya yang cerdik dan pandai yaitu Daris ( Kemungkinan Nabi Idris a.s ) dan cucunya lagi yang kuat dan panjang umur serta sabar mengajak kawan-kawannya untuk berbakti kepada Sang Tunggal melarang nirca dan kuciwa karena akan menimbulkan malapetaka yaitu Pangagung Anung ( kemungkinan besar Nabi Nuh a.s), ingatlah Pangagung Anung banyak ditinggal keluarganya kecuali tiga putranya yang baik hati dan menuruti Pitutur leluhurnya, hormatilah Aki Syamam, Aki Hamam dan Aki Awadi.
- Jika menjadi pedagang janganlah tipu menipu, karena akan buruk akibatnya, apabila sering menipu, nanti akan di tipu atau keturunan yang akan di tipu, Gabil pernah menipu Ayah Adam dan darmanya tidak diterima Tuhan.
- Jika menjadi petani, perhatikan Bintang Rajadesa yang di amanatkan oleh Kujang Pilawa, garaplah tanah Hanyaran atau tegalan yang di bolehkan untuk di airi atau di bikin Huma, tentu akan membawa kebaikan asalkan ingat Ajen dan pitutur leluhur.
- Orang yang memelihara Gunung dan Hutannya serta melestarikan keberadaan yang telah seimbang, pasti hidupnya di pelihara Tuhan dan disayanginya serta akan diberikan pula kejayaan.
- Orang yang merusak Gunung dan Hutannya apalagi Hutan kabuyutan dan anak-anak kabuyutan, pasti akan menderita dan tidak akan jaya, jika Ia menjadi orang kaya hidupnya akan banyak menerima malapetaka, begitu juga bagi keluarganya akan banyak di musuhi oleh orang sekitarnya, karena merusak Hutan adalah pekerjaan Dasamuka yang mengalirkan darah hitam untuk meracuni kehidupan, sedangkan darah yang bagus berwarna biru dan merah serta putih ke abu-abuan.
- Hidup tidak boleh sombong karena Alam akan menginjak sehingga sulit untuk bepergian, tetapi jika hidup santun tentu Alam akan memangku dan bersahabat sehingga luas tempat bepergian.
- Darma itu pekerjaan Ayah Adam, Darma itu pekerjaan Ambu Hawa, Darma itu pekerjaan Pangagung Syits, Darma itu pekerjaan Pangagung Anung, Darma itu pekerjaan Paman Haman, Paman Syaman dan Paman Awadi yang baik hati, Darma itu pekerjaan Sang Aki Mulia Sakti.
- Ajen itu mengajarkan darma yang baik agar Sang Hyang Batara Tunggal menyayangi, hidup harus insap dari kesalahan pasti Tuhan akan menurunkan hujan yang membawa kebaikan bagi ternak dan tumbuh-tumbuhan serta keturunan manusia.
- Apabila sakit, maka berobatlah, obat itu hadir didalam diri ( tubuh ), hati dan pikiran, adapula yang tersedia pada air yang keluar dari serapan Cadas Ceuri ( tanah ), ada yang di bawa oleh air sungai yang mengalir, atau pada daun-daun pohon, kulit pohon, akar pohon dan ludah burung, ada juga yang tersedia pada tanah, api dan udara, ajukanlah permohonan dalam semedi kepada Sang Hyang Tunggal agar kembali jaya waluya dengan menarik dan menghembuskan napas kehidupan.
- Hidup di atas bumi harus ada Raja, ada Patih, ada Ing Paya, ada Patih Sahung, ada pula Turus Juru Turus Juar dan harus ada Somah ( Rakyat ), Raja itu harus menjadi wakil Ayah Adam, wakil Pangagung Syits, wakil Pangagung Daris, wakil Pangagung Anung yang panjang umur serta tiga putranya yang baik hati dan melanjutkan Ajen Sang Aki Mulya Sakti yang telah mengemban tugas Raja di tatar Sunda dengan sakti mandraguna, jadilah Raja yang berani, bijaksana, tegas, adil dan kasih sayang.
- Patih itu mendapat tugas dari Raja, janganlah sekali-kali mengecewakan Raja, apabila Raja salah dan keliru luruskanlah bersama Ing Paya agar tidak mengecewakan para leluhurnya dan tidak membuat kecewa Somahnya ( Rakyatnya ), Patih harus benar-benar mewakili kepentingan Raja didalam melaksanakan tugas kerajaannya.
- Para Ing Paya harus tulus hati dan berniat lurus dalam mendidik dan berwejang, agar langit ke tujuh selalu menurunkan wangsit baiknya, sampaikanlah apa ynag menjadi tugas dari Sang Hiang Batara Tunggal agar Negri dan Bangsa tetap sentosa.
Para
Ing Paya harus membuka mata, telinga, hati dan pikirannya untuk
menerima Ilmu, wangsit dari langit atau teguran dari Sang Hiang Tunggal
melalui Alam jagat raya serta angkasa agar makhluk Tuhan tetap tenang.
14. Patih Sahung adalah penjaga dan pemelihara Gunung dan Hutan yang paling setia, hidupnya akan selalu tenang dan hatinya pun penuh riang, selama persahabatannya dengan Alam terjalin seperti madu dengan
malamnya ( sarangnya ), Patih Sahung mendengar suara Gunung dan Hutan
baik suara sedih maupun gembira, Patih Sahung melihat air mata Gunung
dan Hutan serta melihat pula senyumannya, sewaktu-waktu Patih Sahung
didatangi Semar dari alam Kahiangan untuk membantu menghadapi Sang
perusak Gunung dan hutan.
15.
Turus Jurui Turus Juar harus tetap mengamankan Negri dan membantu Sang
Raja, membantu Patih, membantu Ing Paya, membantu Patih Sahung serta
membantu dan menjaga Somah, tidak boleh menjadi pengkhianat bagi mereka,
karena akan menderita dan menyesal di kemudian hari.
16. Menjadi
Somah adalah anugrah Tuhan juga, oleh karena itu harus berlaku jujur
dan patuh terhadap Ajen yang di sampaikan oleh Sang Raja melalui Patih,
melalui Turus Juru Turus Juar, melalui Patih Sahung apalagi yang keluar
langsung dari lisan para Ing Paya dan Sang Raja.
17. Ki
Lengser sewaktu-waktu datang menjelma menjadi pengembala kerbau,
sewaktu-waktu memakai mahkota putih, sewaktu-waktu menjadi Ing Paya,
sewaktu-waktu menjadi Jema dan sewaktu-waktu menjadi Somah yang
berbaring di pinggir jalan dan memakan sisa-sisa orang yang di buang, Ia
selalu membawa pesan para budiman dan leluhur untuk mengingatkan
tentang kebaikan dan gambaran.
18. Sang
Aki Mulya Sakti mewariskan kebijaksanaan untuk mengangkat martabat
manusia dengan lisannya yang lembut, tetapi sekali-kali dengan suara
geledeg yang mendengingkan telinga.
19. Kujang
Pilawa memiliki tangan baja dan kaki besi serta cahaya matanya yang
bersinar seperti matahari untuk menyelamatkan bangsa dan Kerajaannya
dari para penjahat dan perusak yang menginjak-injak harkat dan martabat
Kerajaan.
20. Danu
Sangkalang bersiul dan berkidung tentang keberhasilan yang harus di
syukuri dan selalu di pertahankan, untuk kemudian melangkah demi
kemajuan yang harus di daki dan di raih dengan menaiki kuda hitam dan
kuda putih pemberian Aki Lengser dan Ki Semar Badranaya.
21. Hanoman
selalu datang menolong Rama, Somantri selalu membantu Sastrabahu,
Karang Tumaritis acuan Negri Amarta di Astina telah hadir Adipati karna.
22. Resi
Kombayana punya suara, pinisepuh Togog punya alasan dan bawaan, Semar
punya angin yang siap berhembus ke kanan dan ke kiri, Darmakusumah di
aping oleh Langit dan Bumi.
23. Arjuna
tampan rupawan, Arya Bima gagah perkasa, Niskala punya cerdik, Sadewa
punya lincah, Astrajingga dan Dewala punya dataran yang sangat panjang.
24. Pangagung
Anung membikin banyak perahu untuk menyelamatkan Somah dari banjir yang
naik perahu Anung akan selamat dari bencana, yang naik perahu Pangagung
Anung, adalah yang percaya kabar dari Sang Hiang Tunggal.
25. Pangagung Anung adalah leluhur Para Sunda, Para Sunda leluhur Bangsa Dwipa, Dwipa leluhur Para Raja Sawawa.
26. Mujasmedi
adalah tanda bahwa kita percaya kepada yang Ada, yang Ada dari setiap
yang ada, setiap yang ada itu ada karena ada yang maha Ada.
27. Mengayun
dan mendidik hati serta akal pikiran untuk kehidupan dan kejayaan,
mencuci dan membuang bila ada Jarian Moyan serta menjauhkan racun
Dasamuka agar hidup aman dan sentosa, Jaya awaking jaya rohaning jaya,
alam buana suka sukma ngahiang jaya,
semoga jayaning jaya bagi kita para budiman. inilah yang sempat tercatat para Ing Paya.
Ing Payagung, Ing Paya Tapak Laganastasoma dan Batu Sang Hiang Tapak
Usia Laganastasoma kini sudah mencapai 116 tahun, beliau pun memiliki lima orang anak, dan masing-masing memiliki keturunan.
Beliau
merasa bahwa tidak lama lagi akan kembali menghadap Sang Pencipta, oleh
karena itu Ia sering sekali berada di puncak Gunung Mananggel untuk
bermujasmedi mendekatkan diri kepada Sang Hiang Widi.
Sampai
pada suatu hari para murid dan yang mengawal beliau kehilangan Ing
Payagung Ing Paya Tapak Laganastasoma, kemudian pencarian pun dilakukan
oleh murid-murid dan para pengawalnya, namun seorang pun tidak berhasil
menemukan jasad beliau, justru yang mereka temukan adalah bekas kaki
kiri beliau yang berada diatas batu, dan tulisan beliau diatas kulit
pohon, selain itu ada bekas tangan beliau dan peninggalan lainnya yang
tersebar di beberapa batu besar dan kecil yang berada di puncak Gunung
Mananggel.
Tulisan
beliau yang ditinggalkan berbunyi sebagai berikut : Ayah Adam pada
saatnya harus kembali ke asal, Ambu Hawa dipanggil oleh Tuhan, Ayah
Syits juga kembali ke alam kalanggengan, Pangagung Daris telah istirahat
di tempat yang layak, Pangagung Anung yang hidup seribu tahun kembali
pula kepada Sang Hiang Widi, Paman Haman, Paman Syaman dan Paman Awadi
mereka menunggu di Alam sana.
Kini giliran aku untuk mengikuti ketentuan Tuhan, leluhurku pergi ke Alam Nirwana aku pun pergi kesana.
Bersabarlah,
tabahkanlah jiwamu, dan tetap harus darma untuk kebaikan, aku manusia
sebagai Ing Paya dari keturunan Ayah Adam dan Ambu Hawa, keturunan Ayah
Syits dan Pangagung Daris, keturunan Pangagung Anung serta darah dari
Sang Aki Mulya Sakti yang berjaya, aku adalah putra mahkota Pitakumana
Jaya seorang Raja Jampang Manggung yang mencintai Somah dan dicintainya,
aku cucu Danu Sangkalang seorang yang cerdik dan pandai untuk memajukan
Bangsa dan Negrinya, aku buyut dari Kujang Pilawa yang gagah perkasa,
pemberani dan sakti mandraguna terkenal ke marcapada, Ia lah pendiri
Jampang Manggung.
Semoga
sentosa sejahtera berada pada manusia yang memahami Ajen Galuh, Ajen
Pananggelan dan Ajen Galunggung dan mengupayakan untuk di jalankan
sebaik-baiknya bagi kehidupan orang banyak serta makhluq Tuhan yang
lainnya.
Selamat
tinggal Laganastasoma Ing Pagung Ing Paya Tapak dengan meninggalkan
cerita dan kenangan untuk keturunan dan generasi selanjutnya.
Inilah
kata-kata yang ditulis di atas kulit pohon yang kemudian dibaca oleh
murid-murid dan para pengawalnya dan di serahkan kepada keluarganya.
Cianjur, 21 September 2009
Sumber (USt. Jalal) Pengasuh pondok pesantren "Bina Akhlaq"
Ayo Ke Cianjur, agar tahu semua seluk beluk Kota Indah nan Damai ini..
0 komentar